Chapter 8Authoritativeness of Akhbā

Chapter 8
Authoritativeness of Akhbār-i Āḥād
The ḥadīth literature basically consists of individual-toindividual reports (akhbār-i āḥād). It is, therefore, necessary for
us to properly grasp the issue of the authenticity of akhbār-i
āḥād. The unusual importance the Ḥadīth holds as the source of
the religion and the sharī‘ah, requires that we fully appreciate the
implications of akhbār-i āḥād. The Islamic law of evidence, in
most cases, requires that a claim may only be established if two
witnesses testify to it. This makes one think whether a narrative
transmitted by a single man in each or any of the layer of the
chain of transmission gives the kind of knowledge which binds
us to accept it without exception. Many akhbār-i āḥād are
transmitted by a single narrator in each or some of the layers. Do
we have to believe that a Muslim cannot go against the teachings
of such a narrative? Should an individual, for example, on
receiving a khabar-i wāḥid (singular of akhbār-i āḥād), conclude
that he has got the exact command of the Prophet (sws)? Before
taking up these issues, it is necessary to define the term khabar-i
wāḥid.

Results (Indonesian) 1:

Bab 8Authoritativeness Akhbār-i ĀḥādLiteratur ḥadīth pada dasarnya terdiri dari individu-toindividual laporan (akhbār-i āḥād). Hal ini, oleh karena itu, diperlukan untukkita untuk benar memahami masalah keaslian akhbār-iĀḥād. Pentingnya biasa Ḥadīth memegang sebagai sumberagama dan daftar isi ' ah, mensyaratkan bahwa kita sepenuhnya menghargaiimplikasi dari akhbār-i āḥād. Hukum Islam bukti, dalamsebagian besar kasus, memerlukan bahwa klaim hanya dapat didirikan jika duasaksi-saksi ini bersaksi untuk itu. Ini membuat satu memikirkan Apakah sebuah narasidikirimkan oleh seorang pria lajang di masing-masing atau salah satu lapisanjaringan transmisi memberikan jenis pengetahuan yang mengikatkami menerima itu tanpa kecuali. Banyak akhbār-i āḥād yangdikirimkan oleh seorang narator tunggal di masing-masing atau beberapa lapisan. Apakahkita harus percaya bahwa seorang Muslim tidak melawan ajarandari sebuah narasi? Harus individu, misalnya, padamenerima khabar-i wāḥid (tunggal akhbār-i āḥād), menyimpulkanbahwa ia mendapat perintah tepat Nabi (sws)? Sebelummengambil isu-isu ini, hal ini diperlukan untuk mendefinisikan istilah khabar-iwāḥid.

Results (Indonesian) 2:

Bab 8
keberwenangan Akhbar-i Ahad
literatur hadits pada dasarnya terdiri dari laporan individu-toindividual (Akhbar-i Ahad). Oleh karena itu, perlu bagi
kita untuk benar memahami masalah keaslian Akhbar-i
Ahad. Yang tidak biasa pentingnya hadits memegang sebagai sumber
agama dan syari'at, mengharuskan kita sepenuhnya menghargai
implikasi dari Akhbar-i Ahad. Hukum Islam bukti, di
banyak kasus, mengharuskan klaim hanya dapat didirikan jika dua
saksi bersaksi untuk itu. Ini membuat orang berpikir apakah narasi
dikirimkan oleh satu orang di setiap atau salah satu lapisan
rantai penularan memberikan jenis pengetahuan yang mengikat
kita untuk menerimanya tanpa kecuali. Banyak Akhbar-i Ahad yang
ditularkan oleh narator tunggal di setiap atau beberapa lapisan. Apakah
kita harus percaya bahwa seorang Muslim tidak bisa melawan ajaran
dari narasi tersebut? Harus seorang individu, misalnya, pada
menerima khabar-i Wahid (tunggal Akhbar-i Ahad), menyimpulkan
bahwa ia telah mendapat perintah yang tepat Nabi (SWS)? Sebelum
mengambil isu-isu ini, perlu untuk mendefinisikan istilah khabar-i
Wahid.